Randang Rajo Rajo: Kuliner Tigo Tungku Sajarangan
Sumatera Barat ranah minang selalu menyajikan keunikannya di mata dunia, mulai dari adat istiadat, pariwisata dan tak ketinggalan kulinernya. Bicara kuliner Sumatera Barat, Randang tentu tak asing lagi di telinga kita, kuliner khas minang ini sudah menjadi warisan dunia UNESCO.
Bediri pada tahun 1997, di tangan Ernila Rumah Makan Simpang Jondul milik orang tuanya H. Asril Is dan Almh Irawati akhirnya berubah nama menjadi Randang Rajo-Rajo pada tahun 2004.
Menurut Nila, pengambilan nama Rajo Rajo sendiri diadopsi dari cerita orang tuanya yang mengatakan bahwa randang merupakan makanan raja raja zaman dulu.
Butuh 15 tahun bagi Ernila untuk sampai pada titik ini, dimana Randang Rajo Rajo yang didirikannya menjadi tujuan para pecinta Randang, pejabat-pejabat tinggi, bahkan beberapa kali Randang Rajo Rajo diliput TV Nasional. Selain itu, Randang Rajo Rajo milik Nila juga sudah berkelana ke luar negeri, mulai dari Mekah, Amerika, Jepang, dan Singapura.
Meski sudah ternama, Randang Rajo Rajo hanya bisa kita temukan di Simpang Jondul, Rawang Kota Padang, Sumatera Barat. Bukan tanpa alasan, menurut Nila inilah yang membedakan Rendangnya dengan yang lain Limited Edition dan Otentik. Dengan produksi yang terbatas akan menjaga kualitas rendang buatannya yang masih menggunakan teknik tradisional warisan orang tuanya.
Tidak hanya sampai disitu, pembuatan Randang Rajo Rajo juga pakai perasaan sesuai dengan filosofi Randang itu sendiri. Filosofi randang terletak pada tiga komponen utamanya yakni Sapi, Kelapa, dan Cabe yang menggambarkan Tigo Tungku Sajarangan atau sistem pemerintahan adat Minang.
Sapi menggambarkan Niniak mamak, Kelapa melambangkan Cadiak Pandai, dan Cabe mewakili alim ulama. Ketiga bahan utama tadilah yang menjadi kunci utama, karena jika salah satu dari yang tiga tadi tidak ada, maka rendang tidak akan pernah menjadi rendang.
Memepertahankan filosofi inilah Randang Rajo Rajo tetap mempertahankan cara tradisional yang membutuhkan waktu enam samapai tujuh jam. Dalam proses pembuatannya, filosofi tadi tergambarkan dalam bentuk kesabaran dan ketekunan dalam pembuatannya. Mencocokkan bumbu berlandaskan prasaan bukan seperti kuliner modern yang memiliki takaran.
Sesuai dengan tagline “Limited Edition dan Otentik” Nila akan tetap menjalankan usaha Randang Rajo Rajo dengan memperhatikan filosofi Randang itu sendiri. Karena filosofi tadilah yang mahal sehingga Randang menjadi kuliner warisan dunia UNESCO, dan itu tentu harus dipertahankan.
Menurut Nila, usaha Randang Rajo Rajo yang dijalankannya tidak sekedar usaha rumah makan, lebih dari itu, usaha Randang Rajo Rajo juga menjadi upaya melestarikan warisan kuliner ranah minang Sumatera Barat.